102 Tahun Kebangkitan Nasional

''Indonesia Bisa'' itulah tema besar yang diusung dalam 100 Tahun Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas). Peringatan Harkitnas 2010 yang ke 102 ini, alangkah elok temanya. Indonesia bisa apa?

Kita saat ini sering dihantui kegamangan, keraguan, dan ketidakpercayaan diri, dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Tentu kita dapat berdalih karena semakin banyak tantangan dalam perkembangan dunia yang semakin kompleks dan dihantui oleh krisis energi, krisis pangan dunia serta perubahan iklim global. Karenanya bencana alam, bencana buatan manusia dan bencana sosial (kerusuhan/ teroris) menghantui keutuhan NKRI.

Dalam hiruk pikuk reformasi dan demokrasi yang bablas, petinggi-petinggi penyelenggara negara menekankan empat pilar berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, UUD Negara RI 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Hal ini tentu nostalgia bagi yang pernah ikut penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), nantinya itu ke itu juga.

Mengurai butir-butir Pancasila, apakah bangsa kita bisa menjadi negara maju atau menjadi negara yang gagal? Kita tetap berkeyakinan Indonesia Bisa dapat berdiri tegak/ajeg.

Indonesia bisa mengamandemen UUD 1945-nya yang ketika Orde Baru dianggap ''sakral''. Amandemen yang sangat fundamental yaitu Psl 1 Ayat (2) UUD 1945. Dari ''Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR'' diubah menjadi ''Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD''. Artinya jika sebelum amandemen melahirkan supremasi MPR, Presiden mandataris MPR, Presiden pemegang teguh kekuasan tertinggi sesudah majelis dan Presiden ''pemegang sekaligus'' kekuasaan eksekutif dan legislatif dan kecenderungan adanya sentralisasi kekuasaan. Maka setelah amandemen kedaulatan dilaksanakan oleh lembaga negara. Presiden menjalankan kedaulatan rakyat menjalankan pemerintahan Negara. DPR menjalankan kedaulatan rakyat membentuk UU dan mengawasi Presiden. Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi menjalankan kedaulatan rakyat di bidang yudikatif. Lebih lanjut dalam demokrasi diatur pemilu kepala daerah (pilkada) langsung.



Bisa Negatif

Indonesia bisa, dengan pilkada langsung, demokrasi digeser ke arah oligarki (pemerintahan diatur oleh sekelompok orang) atau terciptanya demokrasi dinasti (trah keluarga). Tampak adanya perebutan kekuasaan oleh keluarga pemegang kekuasaan. Jadi kepala daerah yang sudah dua kali menjabat, akan berusaha 'menyerahkan' jabatannya kepada istri atau anaknya atau bahkan kepada kedua istrinya demi keadilan.

Indonesia bisa menjual mentah aset tangible (tanah, hutan, tambang) murah karena butuh modal. Tetapi lemah mengembangkan kekuatan yang tak kasat mata (intanglable) yang menurut Rhenald Kasali disebut myelin. Jadi kita lemah dalam berperilaku jujur, kerja keras, terampil, daya juang, disiplin, inovatif, dan tanggung jawab. Kita bisanya hanya mengasah brain memory yang hanya tahu, tetapi lemah mengasah keterampilan pada muscle memory/myelin. Sehingga Indonesia bisa asyik dengan konsep dan wacana, tetapi tidak terampil dalam implementasinya.

Indonesia bisa menciptakan pekerja, tetapi Ciputra sangat khawatir jika hanya lahir pekerja namun menganggur. Ciputra ingin seperti lompatan katak dari poverty to prosperity & philanthropic. Itu hanya dapat dilakukan oleh seorang entrepreneur, mereka yang mengubah sampah menjadi emas; mereka yang selalu berjuang mengkontribusikan kebaikan dan kesejahteraan kepada masyarakat dan tidak mau berhenti untuk menyerah, dari lintas generasi meski mereka belum berpengalaman, meski mereka berkali-kali jatuh dalam kegagalan.

Kita tentu tidak bangga Indonesia bisa mencetak ''Gayus'', terdakwa sutradara koruptor di lingkungan hamba hukum. Tidak bangga Indonesia bisa mencetak banyak teroris, dan Indonesia bisa setiap hari menyuguhkan para pakar berdebat kusir yang membingungkan masyarakat.

Oleh : Nyoman Silanawa