Bung Tomo |
Jawabnya sudah pasti kita harus bisa kuat. Bagaimana untuk bisa kuat? Kuat itu bisa terjadi hanya dengan bekerja keras dan belajar keras. Artinya, tidak ada usaha yang sukses dimuka bumi ini kalau tidak dimulai dengan usaha dan kerja keras.
Orang mau sukses harus bekerja keras sambil terus berdoa agar bisa menjadi yang terbaik. Mungkin ini hanya bisa berlaku bagi seorang pribadi yang ingin sukses. Kalau dalam skala bernegara atau nasional, bagaimana untuk bisa bangkit? Untuk menjawab kita harus punya referensi yang bersifat ilmiah dan sudah teruji, maka jawabnya adalah melalui pendidikan.
Siapa contoh negara yang bangkit menjadi salah satu kekuatan di
Dapat kita lihat mereka bangkit dan kuat. Pesan pendidikan adalah bahasa universal untuk bisa bangkit. Restorasi meiji Jepang bisa menjadi pelajaran yang sangat berharga bahwasanya pendidikan itu melahirkan kemampuan dan kecakapan hidup bagi rakyatnya. Rakyatnya pun hidup dalam suasana nilai- nilai keintelekan.
Jepang pernah merekrut putra –putra terbaik mereka untuk sekolah di luar negeri. Setelah tamat kembali dipanggil dan jadilah Jepang menjadi raksasa dunia seperti yang kita lihat sekarang ini.
Renungan pendidikan adalah pesan khusus bagi pemerintah dalam memperingati hari kebangkitan nasional. Kemajuan suatu negara sangat ditentukan keberpihakan pemerintah pada sektor pendidikan. Tanpa itu tidak mungkin suatu negara bisa bangkit. Apalagi dapat bersaing dengan negara- negara lain. Arus kehidupan makin deras dengan gelombang persaingan hidup.
Bertepatan dengan peringatan Hari kebangkitan Nasional tahun ini, penulis pernah membaca buku berjudul Pendidikan Untuk Pembangunan Nasional, Menuju Bangsa Indonesia yang Mandiri Dan Berdaya Saing Tinggi yang ditulis Mohammad Ali, guru besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung yang saat ini menjabat Direktur Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama.
Buku tersebut mengupas, memaparkan, dan menganalisis sejumlah tajuk dengan topik yang berkaitan dengan isu kesinambungan pendidikan nasional, jalur pembangunan sumber daya manusia yang seharusnya ditempuh, isu tentang pertumbuhan ekonomi dan kaitannya dengan pendidikan serta pemerataan kesempatan dalam memperoleh pendidikan berkualitas.
Kemauan politik
Kemauan politik (political will) bangsa Indonesia untuk memajukan pendidikan terlihat dari produksi keputusan-keputusan politik, seperti amendemen Undang-Undang Dasar 1945 yang antara lain menetapkan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN serta APBD.
Dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 49 ayat 1 tertulis bahwa ‘dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara pada sektor pendidikan, dan minimal 20% dari anggaran pendapatan dan belanja daerah.’
Selain itu, sebagai langkah untuk mendukung kebijakan tersebut, pemerintah telah merilis Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta Undang-Undang tentang Badan Hukum Pendidikan.
Meskipun undang-undang yang terakhir ini memicu kontroversi di tengah masyarakat, dari aspek kebutuhan legalitas tentang pentingnya berbagi peran antara pemerintah dan masyarakat dalam penanganan pendidikan patut diacungi jempol. Pemerintah, setidaknya di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, berketetapan hati untuk memberikan komitmen bagi terlaksananya keputusan keputusan politik tersebut.
Komitmen itu dapat kita lihat dari besarnya perhatian pemerintah akan peningkatan kesejahteraan dan perbaikan nasib para pendidik (guru dan dosen), memberikan bantuan beasiswa untuk para siswa, terutama siswa yang mengikuti program wajib belajar, pengembangan fasilitas dan sarana belajar seperti ruang kelas, perpustakaan, komputer dan lain-lain.
Ironi Kualitas Pendidikan
Memacu pembangunan pendidikan nasional untuk mengejar ketinggalan dari negara-negara lain memang tidak mudah. Apalagi membangun pendidikan dengan mutu yang bisa berdaya saing tinggi.
Terlalu banyak permasalahan pelik dan kendala yang dihadapi. Sejumlah isu utama dan permasalahan yang mempengaruhi pendidikan seperti dampak globalisasi, pelaksanaan wajib belajar, standar nasional pendidikan, desentralisasi, dan kurikulum, merupakan pernak-pernik dari ironi pendidikan kita.
Saya ingin menggaris bawahi tentang latar belakang pendidikan formal tenaga pengajar yang bernama guru. Di Indonesia tugas menyelenggarakan pendidikan formal bagi calon guru dilakukan IKIP yang sekarang namanya telah berubah menjadi universitas.
Tugas IKIP atau apa pun namanya, selain menyiapkan calon yang memiliki kompetensi, kemampuan ilmiah dan macam-macam metode, harus mampu menggali potensi kejiwaan seseorang agar ‘berdarah guru’. Tanpa memiliki ‘darah guru’, jangan diharap dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, efisien dan efektif.
‘Darah Guru’ merupakan gambaran situasi guru pada 60-an, saat guru sangat mencintai profesinya, mencintai muridnya dengan kesabaran luar biasa meski gaji tidak cukup. Menjadi guru bukan sekadar pelarian dan kebutuhan bekerja semata, tapi lebih jauh daripada itu (A Malik Fadjar, 2006). Masyarakat dan kita semua tentu mengharapkan IKIP-IKIP, baik negeri maupun swasta yang sekarang berubah menjadi universitas, untuk tetap taat asas dalam menyiapkan tenaga pendidik yang ‘berdarah guru’.
Untuk itu kebijakan pendidikan pemerintah sangat menetukan kebangkitan nasional pada tingkat yang sangat urgen. Tanpa pendidikan yang akan melahirkan kaum intelek tidak mungkin bangsa ini bisa bangkit. Kontribusi pendidikan sangat besar bagi pembangunan bangsa yang bermartabat. Tanpa itu tidak mungkin sebuah bangsa bisa bangkit secara nasional, regional dan global.